Gunung Prau, Menikmati Keindahan Mendaki dengan Sederhana

"Semakin cantik, semakin susah mendapatkan/mencapainya", begitulah prinsip yang seringkali membatasi diri kita, padahal tak selamanya hal tersebut benar. Namanya Gunung Prau (Perahu), mendengarnya, pasti tak banyak orang yang mengetahui letak gunung tersebut, padahal gunung ini terletak di kawasan wisata terkenal, Dataran Tinggi Dieng. Dengan ketinggian puncaknya 2.565 mdpl, dan start pendakian dari dataran tinggi, tentunya pendakian gunung ini tak membutuhkan banyak pengorbanan waktu dan tenaga. Lantas dengan kebersahajaan namanya yang tak dikenal, dan pengorbanan yang sedikit untuk mencapainya, sudah pasti yang kita dapati dari gunung ini pastinya tak seberapa? Tunggu dulu...
memandang anggun puncak-puncak di jawa tengah dari gn. Prau
Awal mula ketertarikan saya untuk mendaki gunung ini adalah dari teman-teman yang lebih senior, khususnya Adhi dan Mbak Endah. Meski dari usia, Adhi bisa dibilang cukup jauh dibawahku, tapi dalam hal travelling, aku menganggapnya senior yang patut dihormati, sejajar dengan Mbak Endah. Seingatku saja, beberapa waktu yang lalu mereka sempat mewacanakan mendaki gunung Prau, tapi karena ada halangan, wacana tersebut tetap menjadi wacana, sebagai penggemar mereka berdua, cieh, saya kala itu hanya menyimak karena memang sejak awal tak punya waktu luang untuk mengikuti wacana mereka. Dari ketertarikan tersebut, saya pun mencari informasi awal dari internet, dan hasilnya, luar biasa, saya terpukau dengan dokumentasi beberapa catatan perjalanan ke gunung ini.
..........................................
Kesempatan itu akhirnya datang juga, Tuhan memang Luar Biasa. Tanggal 13 Oktober lalu, sedianya ada resepsi pernikahan sepupu yang akan digelar di Jakarta, saya pun sama sekali tak membuat planning untuk jalan-jalan saat liburan panjang Idul Adha. Namun, hingga seminggu sebelumnya, ternyata acara tersebut tidak jadi digelar. Sebuah kebetulan, saya juga telah membuat janji besar untuk menemui seseorang di Jawa, saat liburan Idul Adha tersebut, dari awalnya bingung mencari kesempatan untuk pulang ke Jawa meski hanya sehari, akhirnya saya malah jadi bingung bagaimana mengisi sisa hari liburan tersebut.
.........................................
Minggu malam itu, di kereta yang membawaku dari kampung halaman, menengok keponakan kedua yang dilahirkan lebih awal dari perkiraan dokter, saya mulai menghimpun masa untuk mendaki gunung Prau. Yang ku hubungi pertama tentunya Adhi dan Mba Endah, Adhi tampaknya ada agenda lain, tapi mbak Endah menyambutnya, alhamdulillah. Dari mbak Endah juga, kami ada teman lagi sekaligus guide nantinya, namanya kebetulan juga Adhi, ia warga Wonosobo asli. Sampai menjelang hari H, baru kami bertiga yang deal, setelah beberapa kali ajakanku ditolak oleh teman, tapi ada juga Dedy yang masih ragu-ragu, karena terlanjur membeli tiket mudik ke Pati. Hingga akhirnya, di H-3, rombongan Yanis dan Devya yang semula berniat ke Merbabu berubah haluan untuk bergabung dengan kami ke Gunung Prau, selain suami istri tersebut, masih ada 3 orang yaitu Ghulam, adik Devya dan 2 orang temannya, Satria dan Budi. Jadilah tim dadakan kami, berjumlah 8 orang, untuk mendaki Gunung Prau.

kawasan desa Dieng, Telaga Warna dan Pengilon
 Sabtu, 12 Oktober 2013

Bus 3/4 yang saya tumpangi dari Purwokerto melaju melewati daerah-daerah tengah pulau Jawa, bermula dari Purwokerto, lalu Purbalingga hingga jalur panjang Kabupaten Banjarnegara hingga akhirnya sampai di Wonosobo. Perjalanan dari Purwokerto ke Wonosobo sekitar 3 jam, pemandangan disepanjang perjalanan cukup bervariasi, dari pasar-pasar, terminal, sawah-sawah, hingga jalur sungai Serayu di bawah lereng sisi kiri jalan, yang dipakai untuk kegiatan Arum Jeram di beberapa titik, dan banyak sekali industri kayu yang dilalui sepanjang Banjarnegara-Wonosobo.

Memasuki kota Wonosobo, saya harus dioper dari bus bertarif 25 ribu tersebut ke bus lain, "ngga masuk terminal, mas", begitu kernet menjelaskan singkat. Sekitar pukul 11 siang, saya pun sampai di terminal Wonosobo. Begitu turun dari bus, saya langsung mencari-cari mbak Endah yang sudah stand by di terminal, ia dari Surabaya, tanpa mampir ke rumahnya di Magelang, ia pun langsung meluncur ke Wonosobo, selain mbak Endah ada juga Adhi, temannya yang juga sudah menunggu. Yang lebih luar biasa, 3 orang anggota rombongan Yanis-Devya malah sejak Subuh sudah sampai, mereka bertiga dari Bogor naik bus Sumber Alam. Kami pun tinggal menunggu Yanis dan Devya yang masih terlunta-lunta di jalan akibat menjadi korban kemacetan jalur Pantura. Mereka berdua dari Jakarta dengan bus "eksekutif" Dieng Indah, yang ternyata tak seindah yang mereka harap.

Singkat cerita, setelah panas, hujan, panas lagi dan hujan lagi, kami masih di joglo terminal Wonosobo. Rombongan pendaki datang dan pergi silih berganti, sementara sopir dan makelar yang sedari tadi antusias menawarkan jasa mobil ke kami tiap kali kami lewat, entah sholat, makan atau berbelanja logistik makin terlihat sewot. Sebenernya saya cukup heran dengan 3 anak yang dari Subuh hanya tidur-tiduran di terminal itu, setelah jauh-jauh datang dari Bogor, kenapa mereka tidak mengisi waktu luangnya dengan berjalan-jalan sekitar kota Wonosobo ini, entah alun-alun, atau malah pasarnya...

Akhirnya, jam 4 sore bus Dieng Indah tampak memasuki terminal, dan benar saja, dengan langkah lunglai tampak Yanis dan Devya berjalan ke arah kami, dengan kaos merah seragam, menambah kesan kemesraan mereka sebagai pasangan suami-istri. Kami pun membiarkan mereka beristirahat sejenak dan mengeluarkan unek-unek yang tertahan hampir 24 jam.

Menuju Basecamp Patak Banteng

Untuk menuju lokasi ini dari terminal Wonosobo bisa ditempuh dengan angkot, naik angkutan kota warna kuning ke terminal lama, ongkosnya 2 ribu, atau mungkin 3 ribu kalo bawa tas carrier, kemudian lanjut dengan bus 3/4 yang ke Dieng, dengan tarif 8 ribu. Tapi karena sore itu sudah hujan deras, dan angkot sudah mulai jarang, kami pun sepakat untuk carter bus 3/4, dengan masing-masing membayar 15 ribu sampai di basecamp Patak Banteng langsung. Ternyata di sepanjang perjalanan, sopir masih menaik-turunkan penumpang, hingga bus pun berjejal luar biasa, tapi syukurlah kami tetap merasa cukup nyaman, karena tak harus ikut naik turun, hehe...
Setelah perjalanan selama
satu jam dari terminal, kami pun sampai di basecamp, suasana sore itu cukup ramai. Kami segera melakukan registrasi, seorang dikenai retribusi 3 ribu rupiah, untuk kami 8 orang, hanya 3 lembar karcis yang diberikan, meski sudah membayar untuk 8 orang, karena keterbatasan karcis katanya, sudahlah. Yang lebih menyita perhatian kami adalah panjangnya daftar pendaki di depan kami, sekitar 300-an pendaki yang sudah mendaftar dan melakukan trekking di hari tersebut, "muat ngga ya?", batinku.

Dimana Gunung Prau Berada?
Gunung ini memanjang dari timur ke barat di sisi utara kawasan wisata Dieng, berada di perbatasan antara wilayah Kabupaten Wonosobo di sebelah selatan, dan Kabupaten Kendal di sisi utaranya. Untuk mencapainya juga bisa ditempuh dari Dieng maupun dari Kendal.

batas wilayah Wonosobo dan Kendal, di kawasan puncak Gunung Prau
peta wisata dieng, sumber : diengindonesia.com
Pendakian di Mulai

Pukul setengah 8 malam kami berangkat dari basecamp Patak Banteng, berjalan melalui gang-gang yang sudah dibeton, setelah beberapa belokan kami lalui, ujian pertama sudah menanti di depan kami, jajaran anak tangga yang sudah dibeton juga. Jalanan menanjak melalui barisan anak tangga ini cukup menguras tenaga, apalagi kemunculannya di awal-awal trekking, seperti kemasukan gol cepat dimenit-menit awal, perlu mental pejuang untuk terus bertahan.
 
Dan benar saja, baru beberapa menit setelahnya, mbak Endah sudah beberapa kali meminta break, saya sendiri juga memanfaatkan setiap momen istirahat untuk menstabilkan tarikan nafas dan detak jantung. Setelah teridentifikasi sebabnya, kami para sweeper pun setengah memaksa mbak Endah untuk membuka bekal nasi yang dibeli Devya di sebelah basecamp. "tapi cuma nasi putih doang", kata yang belinya, tapi setelah dibuka, sebungkus nasi berharga 3 ribu itu ternyata sudah dilengkapi dengan lauk, meski sederhana tapi sudah cukup untuk membuatku berdecak kagum, Jawa Jawa,...aamiin.

Menunggui mbak Endah menikmati nasi bungkusnya, sambil leyeh-leyeh di tengah ladang petani, kami disuguhi pemandangan kembang api yang dibawa para pendaki di belakang kami, Subhanallah... nikmat itu sederhana. Tak sampai habis bungkusannya, mbak Endah menyudahi makan malamnya, kami pun mengikutinya melanjutkan perjalanan. Mbak Endah tiba-tiba saja menghilang di depan, menyusul Devya dan 3 sekawan di depan, sementara itu, saya, Yanis dan Adhi malah gantian yang keteteran. Kami berjalan santai dan beberapa kali berhenti, sambil bercerita nostalgia mendaki ke Argopuro, sebuah pendakian panjang yang amat berkesan bagi kami.

perbukitan di sekitar Dieng
Setelah melewati ladang penduduk, jalur trekking menjadi cukup terjal, cukup, tapi tidak begitu. Trekking malam hari ternyata cukup efektif untuk melupakan soal posisi, nyatanya meski ada 4 pos sepanjang jalur dari basecamp hingga puncak Prau, tak satu pun pos yang kami ketahui, lewat-lewat saja, patokan kami, 3 jam perjalanan, mungkin setara dengan kawah Ijen, pikirku... Akhirnya, hanya dalam 2,5 jam kami pun sampai di puncak, padahal sebelumnya kami sudah mengestimasikan waktu untuk ngaret hingga 4-5 jam, sesuai permintaan mbak Endah.

Bentuk gunung Prau bukan tipe gunung vulkanik dengan puncak yang runcing, tak ada kawah juga di puncaknya. Sesuai namanya, bentuknya justru memanjang seperti perahu, sehingga tak perlu khwatir kehabisan tempat untuk camping, tinggal berhitung dengan angin dan dinginnya udara saja.

Begitu sampai di puncak, segera kami mencari lokasi yang terbaik dari yang tersisa untuk medirikan 3 tenda kami. Begitu tenda terpasang, kami pun menyiapkan makan malam dan minuman untuk penghangat sebagai pengantar tidur. Sementara di atas kami, bintang-bintang bertaburan di langit, nampak begitu cemerlangnya, tak ada cahaya lampu yang mengacaukan seperti di Jakarta. Sesekali di antara kami ada yang berteriak melihat bintang jatuh, saya pun bergegas memalingkan pandangan ke langit, seolah-olah para bintang itu segera memberi komando pada si bintang jatuh "stop", saya pun tak melihat apa-apa yang bergerak. aaaakkkk, cukup lama mnahan pandangan, tetap tak ada bintang jatuh ku lihat, aaaakkk part 2.

Suka Cita Menyambut Sunrise

Sejak pukul 4 pagi saya sudah terjaga, disamping saya ada Yanis dan mungkin Adhi yang masih menikmati tidurnya di dalam sleeping bag masing-masing. Setelah memperoleh kesadaran penuh, saya pun bergegas keluar tenda, untuk sholat Subuh dan nongkrong di depan tenda menunggu matahari terbit. Ternyata, awan-awan kelabu yang cukup tebal menutup di atas.

Kamera dan tripod segera ku siagakan, meski langit sedang tak bersahabat. Tak mungkin ku lewatkan kesempatan belajar langsung pada ahlinya, tekadku sudah bulat untuk belajar memotret dari mbak Endah, hingga dengan suka cita membawa tripod dan kamera yang cukup berat jauh-jauh dari Jakarta sampai ke puncak gunung ini. Beberapa kali ku coba memotret di pagi buta yang mendung itu, tak ku dapati satu pun gambar yang ku inginkan. Antara bingung dan penasaran, saya pun tak tahan untuk memanggil-manggil mbak Endah di tenda sebelah, belum ada suara apapun dari tenda yang ia tempati bersama Devya itu. Ternyata mereka sedang Subuh, setelah itu mbak Endah pun keluar dan saya siapkan diri untuk menerima pelajaran.

Di mulai dari pengenalan fitur kamera yang sebenarnya milik saya sendiri, tapi sebagai empunya saya malah belum banyak tau. Tapi tetap saja, untuk mendapat foto landscape yang benar-benar bagus, selain kepiawaian dan jam terbang kita, juga perlu dukungan penuh dari Yang Maha Kuasa, Tuhan Yang Menguasai alam dan cuaca, mendung pagi itu membuat saya harus menunda keinginan untuk menyaksikan semburat merah di ufuk timur, setelah berkali-kali pendakian.
 
menatap megah dan mesranya Sindoro-Sumbing dari depan tenda
















Bagaimana pun, rasa syukur dalam hati kami tak terbayangkan menyaksikan pemandangan alam yang luar biasa di depan tenda kami. Langit boleh kelabu, tapi kecantikan yang tersaji di depan kami begitu luar biasa, gunung Sindoro dan Sumbing tampak begitu mesranya seperti mintuni dan mintuno. Ditambah lagi, saat jarak pandang lebih jauh, nampak juga gunung lain di jarak yang lebih jauh, sepertinya Merabu dan Merapi.
hamparan bunga daisy yang bertaburan di gunung Prau
Kegembiraan pagi itu pun dilengkapi dengan beragam menu sarapan yang telah Adhi siapkan, dari roti bakar, telur, sayur sop lengkap dengan baksonya dan juga nasi hangat. Sungguh nikmat menikmati kebersamaan, sebuah keindahan dan keakraban yang bisa terbentuk hanya dengan sekali pertemuan, itulah salah satu keajaiban gunung bagiku.
sarapan bersama (foto dari : Mbak Endah)
Dari puncak gunung yang panjang ini, terdapat berbagai pemandangan yang tersaji, di sisi timur ada pemandangan gunung Sindoro dan Sumbing. Jika di sisi selatan, kita bisa melihat kawasan desa wisata Dieng, lengkap dengan danau telaga warnanya. Sementara itu, di sisi utara terdapat deretan bukit-bukit teletubbies. Di sekitar puncak hingga ke lereng-lereng di sekitarnya terdapat banyak hamparan bunga kecil-kecil yang berwarna-warni, yang mbak Endah sebut dengan bunga Daisy.

layering di sisi timur gunung Prau, Sindoro dan Sumbing

perkemahan para pendaki di antara bukit-bukit teletubbies
Sebelum tengah hari kami pun beberes tenda dan bersiap turun, belum lama kami menikmati euforia mencapai puncak Prau, sudah makin kuat rencana Ghulam cs yang dimotori Satria, untuk melanjutkan perndakian dengan ke Sindoro. Rencana ini pun di amini oleh Adi yang jadi guide, sementara saya sudah ada agenda yang sangat penting di tempat lain, begitu juga Yanis dan Devya yang hendak pulang kampung. Sebelum turun, kami sempatkan berfoto bersama, sayangnya tidak ada sukarelawan yang bisa dimintai tolong, jadilah foto tim berkurang seorang, sebagai fotografer.
Adhi, saya, Satria, mba Endah, Devya, Ghulam, Yanis,  (minus Budi)
Dalam perjalanan turun ke basecamp, seolah kami melakukan napak tilas jalur pendakian semalam yang belum bisa kami lihat dengan seksama. Begitu turun dari puncak, jalur yang cukup curam tapi tidak licin, dengan pohon-pohonan yang tinggi di kanan kiri jalur. Sementara di sisi jalur kita bisa melihat desa di kawasan Dieng di bawah, tertutup awan di atasnya.

indahnya terasireng persawahan dan desa di Dieng
Berikutnya, jalur melalui perkebunan penduduk desa, sebelum pada akhirnya kembali ke pos 1 dengan jalanan berbatu yang cukup lebar, disusul barisan anak tangga yang cukup merepotkan di awal laga kami semalam, hehe.
ladang kol penduduk desa
jalanan batu sebelum pos 1


Saat melewati barisan anak tangga yang berada di kawasan rumah penduduk, kami langsung disambut beberapa warga yang menawarkan oleh-oleh khas Dieng, yaitu buah carica. Sementara itu, banyak ibu-ibu yang ngerumpi di depan rumahnya, anak-anak kecil pun berlarian riang kesana kemari. Ada beberapa anak kecil yang memiliki rambut gimbal, di kalangan masyarakat Dieng ada mitos-mitos yang dipercaya hingga kini soal bocah berambut gimbal ini. Dari penilaian saya, anak-anak perempuan di daerah ini banyak yang cakep lo, manis, meski kulitnya terbakar matahari hingga jadi kemerah-merahan seperti orang-orang daerag pegunungan pada umumnya.
memotret penduduk desa yang malu-malu
Kami pun tiba di basecamp sekitar pukul satu siang. Tempe kemul (selimut) hangat yang dijajakan di sekitar basecamp kami lahap dengan penuh suka cita, luar biasa rasanya. Lapar memang lauk terenak untuk makan.
Dari basecamp kami melanjutkan perjalanan dengan bus 3/4 lagi, kami berpisah menjadi 2 rombongan. Saya bersama Yanis dan Devya ke terminal Wonosobo, dengan mampir dulu di warung mie ongklok khas Wonosobo, sebelum melanjutkan ke Salatiga. Sementara itu, Adhi dan Ghulam c.s. melaksanakan niatan mereka untuk nyambung mendaki gunung Sindoro, tak ketinggalan mbak Endah yang setelah sempat galau akhirnya membulatkan tekad untuk mengikuti langkah mereka.

Comments